Tiga Tipe Motivasi Beribadah

Pada suatu waktu, diceritakan dalam satu kisah saat khalifah Umar bin Khaab memerintah kekhalifahan Islam sebagai khalifah kedua. Kebetulan di tanah Arab pada saat itu suasana sangat terik, mungkin panasnya mencapai di atas rata-rata dibanding hari-hari biasanya, sehingga Umar selaku khalifah pada saat itu merasa sangat kehausan dan ia merasakan tenggorokannya sangat kering. Tidak lama kemudian, lalu khalifah Umar bin Khatab meminta tolong kepada pelayannya untuk mengambilkan air, datanglah air yang bening dengan gelas yang bersih diatas meja. Pada saat Umar mengambil air dan akan meminumnya, tiba-tiba terdengar seseorang membacakan ayat suci Al Quran di dalam surat Al Ahqaaf ayat 20:
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik”.

Jika kita kaji, ayat tersebut menegaskan bahwa Allah mengingatkan kepada kita semua tentang orang-orang yang nanti pada hari akhirat akan memperoleh azab yang begitu pedih dari Allah SWT karena tidak bersyukur atas waktu, harta kekayaan, dan kenikmatan yang tidak digunakan untuk kepentingan di jalan Allah dan memperoleh ridho Allah SWT. Kata Allah: Pada hari itu, pada suatu hari nanti yaitu pada hari kiamat, orang-orang kafir akan dihadapkan ke neraka. Kalian telah menghabiskan rejekimu di dunia pada saat itu, dengan tidak digunakan untuk hal-hal yang semestinya.

Allah menyediakan banyak waktu untuk beribadah, tapi tidak digunakan untuk beribadah. Allah menyediakan banyak waktu untuk berbagi ilmu, tapi kemudian tidak mengamalkan, ilmu itu kebaikan yang bernilai manfaat. Allah memberikan harta yang banyak, tapi tidak dibelanjakan di jalan Allah. Allah memberikan ilmu yang luas dengan sederet gelar, tetapi tidak digunakan untuk diamalkan dalam kehidupan yang lebih baik dan untuk membangun memperbaiki akhlak umat. Tentu saja apabila kita sudah pada level itu, tidak mensyukuri nikmat Allah, tidak berusaha tasyakur, tidak berusaha lebih baik dengan memanfaatkan apa yang diamanahkan oleh Allah, janji Allah nanti di hari kiamat akan memberikan azab yang demikian menghinakan.

Apa relevansinya ayat ini dengan ungkapan Umar tadi? Bahwa begitu Umar mendengar ayat ini, beliau langsung menghentikan niatannya untuk meminum air yang sudah dihidangkan di atas meja. Rupaya hati beliau tergerak dengan apa yang disampaikan atau yang dibacakan oleh salah seorang qori saat itu. Bahwa kenikmatan yang sudah diberikan di dunia itu, apabila digunakan untuk kesia-siaan, maka nanti di akhirat tidak akan ada lagi kenikmatan, bahkan sebaliknya akan diberikan siksa yang sangat pedih. Hal itu menyadarkan Umar bin Khatab ra, padahal beliau termasuk salah seorang dari sepuluh sahabat yang oleh Rasul dinyatakan ahli surga. Meski begitu, beliau tetap sangat hati-hati dan khawatir jika segala kenikmatan yang ada di dunia dimanfaatkan dan tidak dinikmati dengan rasa syukur, maka kenikmatan itu akan hilang dan tidak akan ditemukan lagi di akhirat nanti.

Merasa hebat, merasa kaya, merasa mampu, merasa pandai, merasa lebih dari yang lain, itulah perilaku yang disebut oleh Allah prilaku menyombongkan diri. Tentu saja hal ini tidak baik untuk kehidupan kita, apalagi ketika perilaku menyombongkan diri itu pada saat disuruh oleh Allah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Hatinya sedikitpun tidak tergetar dan tidak mau mengikuti ajakan untuk ber amar ma’ruf nahi munkar. Itulah orang yang nanti di akhirat tidak akan memperoleh kenikmatan sedikitpun yang diberikan oleh Allah, tetapi sebaliknya yang diperoleh adalah siksa yang sangat menghinakan.

Sepenggal cerita tadi hanya salah satu pengantar saja untuk menegaskan apa yang disampaikan oleh Ibnu Sina bahwa sikap Sayyidina Umar bin Khatab menolak air minum pada saat mendengar lantunan ayat suci Al Quran tadi, menandakan bahwa beliau punya motivasi beribadah yang lain yaitu untuk memperoleh balasan atau imbalan dari Allah di akhirat nanti. Itu yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai perilaku saudagar, perilaku pedagang, perilaku pebisnis. Orang yang bisnis itu biasanya mencari untung, tidak mau berhitung rugi, sehingga pengusaha itu selalu ingin untung. Kata Ibnu Sina, mentalitas orang yang beribadah semacam itu adalah orang yang beribadah karena ingin memperoleh imbalan pahala surga, ingin memperoleh berlipat ganda pahala dari Allah. Lalu apa persoalannya? Kenapa Ibnu Sina membahas masalah ini? Sesungguhnya beliau hanya mengingatkan bahwa ibadah yang kita lakukan sejatinya tidak boleh dimuatani oleh embel-embel apapun. Niat kita dalam melakukan apapun, setiap ikhtiar yang dilakukan adalah untuk beribadah. Artinya setiap ibadah, gerak langkah yang kita lakukan semata-mata karena Allah SWT.

Al Quran sesungguhnya membuka ruang untuk ini, meskipun Ibnu Sina mengingatkan jangan seperti itu. Di dalam surat Al Baqarah ayat 25 : “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”.

Itu adalah salah satu saja dari tipologi motivasi beribadah seseorang. Boleh jadi diantara kita punya motivasi yang sama, ke Masjid karena ingin memperoleh pahala berlipat dari Allah. Beramal dan sedekah karena kita ingin memperoleh tujuh atau sepuluh kebaikan. Atau amal-amal yang lain boleh saja itu sebagai motivasi, itu tipe yang pertama. Ada tipologi yang kedua, ini kebalikannya dari yang pertama. Orang beribadah itu karena takut kepada Allah. Bisa jadi dalam kehidupan nyata ada orang yang bekerja, melaksanakan pekerjaannya tidak lillahita’ala tapi karena takut kepada pimpinan. Ini yang disebut oleh sebagian mufassir sebagai perilaku atau sikap hamba sahaya, buruh, pekerja yang selalu tersubordinasi oleh atasan. Jadi bekerja karena takut, ibadah juga karena takut kepada Allah, apabila kita beringkar kepada Allah maka janji Allah sudah sangat jelas kita akan memperoleh adzab.

Tipe ketiga itu adalah tipe terbaik, kata para ulama jumhur ini adalah tipe yang terbaik. Kalau tadi ada tipe pedagang, tipe saudagar, tipe pebisnis lalu yang kedua ada tipe abid, hamba sahaya, pekerja, buruh, lalu yang ketiga ini adalah tipe arif, tipe orang yang bijak. Orang ini adalah orang yang tidak menyandarkan segenap kegiatannya pada embel-embel imbalan maupun ketakutan kepada Allah, tetapi betul-betul berserah diri kepada Allah SWT. Ibadahnya, segala yang dilakukan, apa yang ia terima pada saat susah ataupun senang, benar benar disadari dan dipahami bahwa itu semua adalah karena Allah SWT. Ketika memperoleh kenikmatan yang luar biasa maka dia bersyukur, ketika memperoleh kesulitan kemudian berusaha bertafakur, berusaha memperbaiki diri. Segala sesuatu itu diterima apa adanya sesuai dengan qada dan qadar Allah SWT. Ini yang disebut dengan tipe arif orang yang lillahita’ala. Tipe ini sangat memahami bahwa manfaat ibadah itu bukan untuk orang lain tetapi untuk dirinya, manfaat ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya. Tipe seperti inilah yang boleh jadi harus kita kejar supaya apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan itu tidak lagi berorientasi pada imbalan atau ketakutan, tapi betul-betul berangkat dari rasa syukur yang keluar dari hati nurani yang paling dalam bahwa kita diciptakan di alam dunia ini semata-mata karena Allah. Kita diberi kehidupan, diberi keluarga, diberi pekerjaan, diberikan kenikmatan kita manfaatkan untuk hal yang baik di hadapan Allah SWT.

Itu tadi tiga tipe motivasi beribadah seseorang. Mudah-mudahan kita semua termasuk pada golongan yang ketiga. Kalau saat ini level kita masih di satu dan dua, mudah-mudahan berikutnya level kita naik ke level yang lebih tinggi yaitu kita selalu beribadah dengan melihat, memaknai nialai-nilai tipe yang ketiga menjadi seorang arif, menjadi seorang yang senantiasa bersyukur atas apa yang senantiasa diberikan oleh Allah baik dalam keadaan susah maupun senang.

Lalu bagaimana sikap dan motivasi beribadah kita? Mengapa kita melakukan shalat, shaum, zakat, berhaji ke Baitullah, infaq, zakat dan bersedekah? Juga ibadah-ibadah lainnya? Dimanakan posisi kita dari ketiga tipe manusia di atas?

Seandainya kita tidak berada pada ketiga tipe di atas, pantaslah bila cendikiawan kenamaan di negeri ini yang juga seorang mufassir, yakni Prof. Quraish Shihab, menambahkan tipe mekanik-otomatis. Seseorag melakukan ibadah secara otomatis tanpa pemikiran dan penghayatan. Beribadah tipe keempat ini dilakukan bagaikan robot dan mesin yang tidak memahami esensi dan tujuan ibadah yang dilakukannya. Ia bekerja sesuai dengan yang diprogramkan, sedangkan yang memperogramnya adalah seseorang yang tenggelam dalam kesibukan dunia. Tidak mengherankan bila ketika melakukan shalat yang teringat adalah bisnis, kesenangan duniawi, atau hal-hal lain yang tidak penting dan sangat tidak bernilai.

Oleh, Dr. Joni Rahmat Pramudia, M.Si.