Maulid Muhammad Dan Indonesia Baru

Thala’a al-badru ‘alayna min tsaniyyat al-wada’
wajaba al-syukru ‘alaina mada’a li allahi da‘i
(Kitab Al-Barzanji)

Seseorang tidak bisa mengetahui Islam secara baik bila tidak memahami dengan baik siapa sebenarnya Muhammad bin Abdullah bin Abd Al-Muthalib yang dilahirkan di kota suci Makkah pada tahun Fil (Gajah) bertepatan dengan Senin, 12 Rabiu` al-Awwal 570 Masehi. Bahkan Fazlur Rahman menyatakan Islam itu tidak lebih dari sejarah-hidup Muhammad dalam mempraktekkan kehendak Allah di dunia ini. Berdasarkan informasi dari —salah seorang isterinya— ‘Aisyah binti Abu Bakr r.a. mengenai profil Muhammad saw, beliau memberi keterangan singkat. Kana khuluquhu al-Qur’an. Dalam hubungan itulah M. Quraish Shihab menyimpulkan bahwa Muhammad itu “ibarat Alqur’an berjalan”. Mengapa? Karena seluruh kehidupannya mempraktekkan secara nyata mengenai apa dan bagaimana kandungan kitab suci Alquran.

Penulis berpendapat bahwa tidak ada satu manusia pun yang mampu menangkap isi dan pesan Alquran secara utuh, kecuali Muhammad Rasulullah saw. Itulah sebabnya, mengapa kemudian baik dalam proses, mekanisme dan sistem kepemimpinan umat pasca Nabi Muhammad saw, misalnya tidak pernah sependapat dalam banyak hal, karena tidak ada seorang pun yang bisa menangkap secara utuh bagaimana beliau menerapkan Islam dalam kehidupan yang serba pluralis, termasuk para sahabatnya sekalipun. Bahkan tidak jarang kita jumpai, ketika pada tahap implementasi ajaran Islam, kita cenderung lebih menampilkan penafsiran para ahli daripada substansi ajaran Islam itu sendiri.

Walaupun kita ketahui bersama bahwa tidak ada satupun nash yang memerintahkan kita untuk mem­peringati kelahiran (milad, mawlid [lazim ditulis maulid], mulud) beliau, namun umat Islam seolah-olah memiliki rasa yang kurang pantas bila melewatkan begitu saja peristiwa kelahiran beliau yang kelak membentuk sejarah peradaban dan kehidupan masyarakat dunia. Maka wajar dan relevan jika kita bertanya, apakah arti dan makna yang bisa kita petik dari maulid beliau yang memiliki bobot sejarah dan reputasi internasional itu? Hal ini perlu dikemukakan, karena kita sedang berusaha dan merancang konsepsi pembangunan yang madani, membentuk komposisi pemerintahan yang legitimated, Indonesia baru di era millenium ketiga atau abad ke-21.

Jika Shalahuddin al-Ayyubi memelopori upacara maulid Nabi Muhammad saw untuk menyemangati bala tentaranya melawan musuh dalam membela Islam, maka bagi umat Islam Indonesia saat ini memperingatinya sebagai momen penting untuk dijadikan sebagai reaktualisasi dan revitalisasi ajaran Islam yang beliau bawa sejak 15 abad lampau.

Sesuai dengan tujuan utama Islam, Muhammad diutus Tuhan untuk membawa dan menyampaikan maksud-maksud Tuhan sebagai yang tertera dalam kalam wahyu-Nya (Alquran), dan agar manusia meninggalkan ke­musyrikan, dengan cara mengakui keesaan dan menyembah Dia satu-satunya Tuhan bagi semesta alam, meninggalkan budaya jahiliyah dan mengambil konsep Islam untuk menyelamatkan manusia dari berbagai krisis kehidupan, yang klimaksnya mencapai kejahiliyahan seperti yang dialami oleh masyarakat Arab waktu itu.

Berdasarkan informasi Alquran seluruh utusan Tuhan —termasuk Muhammad— mempunyai lima tujuan pokok dari misi kenabiannya yakni:

  1. Sebagai saksi
  2. Pembawa berita gembira
  3. Pemberi peringatan
  4. Penyeru kepada agama Allah, dan
  5. Menjadi penerang bagi perjalanan umat manusia di dunia ini (QS. al­-Ahzab/33: 45; al-Fath/48: 5)

Hingga sekarang, literatur yang berkenaan dengan sirah/tarikh Nabi Muhammad setidaknya bisa dibagi menjadi tiga versi: Alquran dan Haditsnya; Sarjana Barat (Orientalis); Sarjana Muslim. Di dalam Alquran terdapat satu surah yang diberi nama Muhammad (surah nomor 47) dan hanya ada lima ayat yang secara eksplisit menyebut namanya, Muhammad. Sedangkan hadits ialah keseluruhan informasi rekaman hidup dan kehidupan beliau, baik sebagai manusia biasa maupun sebagai salah seorang utusan Tuhan.

Para sarjana Barat (Orientalis) dalam mengungkap siapa Muhammad, mereka terbagi ke dalam tiga kelompok: (1) murni untuk kepentingan ilmu pengetahuan, (2) untuk kepentingan studi komparatif dengan tokoh dunia lainnya, dan (3) untuk mengungkapkan kehidupan Muhammad dengan maksud-maksud tertentu dan mencari unsur kelemahannya. Dengan kelemahan­nya itulah mereka lantas menjelek-jelekkan Muhammad dan agama Islam yang dibawanya. Adapun para sarjana Mus­lim yang mengungkapkan pribadi Muhammad ada yang dari segi normatif agama semata, namun ada pula yang melakukan pendekatan ilmiah dengan cara semua data dianalisis dan semua informasi yang didasarkan pada tiga sumber sebagaimana disebutkan sebelumnya, kemudian menempatkan Muhammad secara proporsional. Sebagai contoh dari model yang terakhir saya sebutkan misalnya, penelitian tarikh Muhammad yang dilakukan oleh Maulvi Majid Ali Khan, seorang sarjana muslim asal Pakistan dalam karyanya, Muhammad The Final Messenger (1980).

Pribadi Paripurna

Sejak kecil, pribadi Muhammad sama halnya dengan anak-anak yang sebaya dengannya, kecuali bahwa Muhammad adalah seorang yang amat jujur dan berakhlak luhur (Rahman. 1984: 1). Tetapi dengan modal kepribadian seperti itulah yang kemudian berkelanjutan membentuk pribadinya dan pantas jika Muhammad dipilih sebagai “manusia pilihan” dan menjadi utusan-Nya yang terakhir, bahkan menjadi manusia pilihan dari keseluruhan kenabian di bumi ini (QS. al-Ahzab/33: 40). Dengan kepribadian seperti itu pula maka pantaslah kiranya Tuhan memuji Muhammad dengan menyatakan “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam/68: 4). Bahkan Allah pun bershalawat atasnya “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi (Muhammad) dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. al-Ahzab/33: 56).

Jadi letak kunci kesuksesan Muhammad, baik sebagai seorang manusia biasa maupun sebagai nabi/rasul Allah terletak pada dua hal yaitu integritas pribadinya yang tinggi serta dedikasi dan keberhasilannya dalam bidang kemanusiaan (Hart, 1982; Rahman 1984).

Mempelajari kehidupan Muhammad bin `Abdullah (570-632 M) berarti kita mempelajari satu pribadi yang telah melintasi satu masa kehidupan manusia yang pada saat itu bisa dikategorikan sebagai keadaan transisional ke arah yang paling konkrit karena budaya jahiliyah telah digantinya dengan konsep tawhid (yang lazim ditulis tauhid) dimulai dari Makkah (jazirah Arabia) yang di kala itu merupakan pusat pertemuan peradaban dunia super ­power yang berkuasa saat itu. Muhammad telah menunjukkan pribadinya membangun kehidupan masyarakat dari lapis bawah (botton up) lewat dua pendekatan insaniyah dan ilahiyah.

Maka tidaklah mengherankan jika kemudian Muhammad bin ‘Abdullah ditempatkan oleh sejarawan, Michael H. Hart (1982) sebagai pribadi yang paling berpengaruh sepanjang sejarah kehidupan dan peradaban umat manusia sejagad. Dan wajarlah kalau Hart menem­patkan Muhammad pada ranking pertama dari 100 tokoh yang dinilainya paling berpengaruh di dunia, seperti katanya: “Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari segi agama maupun ruang lingkup duniawi” (Hart, The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in His­tory. 1978).

Kepemimpinan Gemilang

Dinamika kehidupan tinggi yang didukung oleh kesabaran dan istiqamah Muhammad Rasulullah saw tidak pernah menunjukkan ambisi-ambisi pribadi yang arogan (QS. al-Najm/53: 3-4). Malahan sebaliknya, dengan status nabi yang melekat pada dirinya itulah yang betul-betul mendorong jiwa dan raganya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan, mengurus dan memimpin umat manusia dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Itu sebabnya Allah memberitahukan kepada kita bahwa “Muhammad itu benar-benar seorang manusia yang penuh dengan keteladanan” (QS. al-Ahzab/33: 21). Hidup dan kepemimpinan, keduanya adalah amanah Tuhan yang harus ia emban dan laksanakan dengan baik.

Dengan integritas pribadi, kecerdasan (emosi dan intelektual) serta keteguhannya dalam menjalankan dan menegakkan prinsip-prinsip kebenaran, serta didukung oleh kemampuannya dalam menempatkan diri sebagai wasit (moderator, penengah) dari berbagai kelompok dan kepentingan banyak pihak, Muhammad telah berhasil memerankan diri dan memainkan peran strategis dalam menjalankan tugas kehidupannya secara gemilang dan sukses sekaligus, baik sebagai seorang manusia biasa maupun sebagai seorang rasul (utusan) Tuhan (Montgomery W. Watt, 1984). Mungkin inilah salah satu makna penting dari perutusannva dengan suatu maksud bahwa Allah akan menutup seluruh misi kenabian-Nya di bumi ini dalam upaya menunjukkan jalan Tuhan yang mencerminkan nilai-nilai ilahiyah. Dalam rangka itu, satu-satunya konsep yang dijalankan adalah Islam, sebagai petunjuk bagi penyelamatan umat manusia (QS. al-Maidah/5: 33; al-An`am/6: 126, 153, 155; al-Fath/48: 28; al-Shaf/61: 9; al-Baqarah/2: 185).

Dalam kepemimpinan Nabi Muhammad saw betul-betul didasarkan pada ajaran Islam yang membawa rahmat. Semua anggota masyarakat atau warga negara diperlakukan sama di depan hukum, adil dalam menyelesaikan berbagai sengketa sosio-politis masyarakat melalui konsep etika pluralisme. Etika pluralisme ini berangkat dari satu kenyataan bahwa masyarakat Yatsrib (sekarang, Madinah al-Munawwarah) saat itu terdiri dari berbagai suku, agama dan ras. Dari contoh penerapan Is­lam dan kepemimpinan Nabi Muhammad seperti itulah yang agak menyulitkan kita untuk menerima suatu pandangan -kesan sementara orang- bahwa Islam itu diskriminatif.

Implementasi Islam dalam realita masyarakat pluralis, menurut Nurcholish Madjid (Republika, 20/3/1999) harus dimulai dari adanya kesadaran untuk membangun secara positif dan kreatif berbagai acuan normatif ke dalam konsep dan perilaku sosial yang memungkinkan terciptanya suatu masyarakat madani.

Menatap Indonesia Baru

Pada saat kondisi sosio-politis yang membuka kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat seperti sekarang ini, maka hampir seluruh tatanan dan sistem sosial kita goyah, Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat kita telah mengajarkan agar tidak mudah bimbang, melainkan harus optimis, bekerja keras dan percaya diri serta senantiasa memohon petunjuk Tuhan, karena tidak ada masalah yang tidak memiliki jalan keluar terbaiknya (QS. al-Thalaq/65: 2, 4; Alam Nasyrah/94: 5-6).

Maka tak ada pengecualian, semua komponen bangsa harus terlibat dan melibatkan diri/kelompoknya secara aktif untuk mendiskusikan berbagai solusi terbaik dan prospektif ke depan, sehingga bangsa dan negara segera keluar dari multikrisis ini. Harapan ini tentu amat besar ditujukan kepada umat Islam Indonesia sebagai komponen dari kekuatan sosio-politik terbesar di negeri ini untuk memainkan peran positif dan lebih konstruktif.

Kita akan semakin tertinggal dari upaya masyarakat dunia yang telah menyiapkan diri untuk memenangkan persaingan global di era kehidupan millenium ketiga bila kita masih saja menempatkan kepentingan-kepentingan sesaat, eksklusifisme kelompok dan arogansi kekuasaan, di atas kepentingan bersama sebagai bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika tidak kita upayakan sesingkat mungkin ke arah itu, boleh jadi kita tidak menangkap dan memaknai momentum perspektif sejarah kelahiran dan perutusan Nabi Muhammad saw itu.

Mari kita buktikan bersama Firman Allah swt Quran Surat Alu `Imran/3:110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Oleh, Prof. Dr. H. Abdul Majid, MA.