Pembinaan Akhlak Mulia

Upaya Pendidikan Dalam Pembinaan Akhlak Mulia

Berbagai krisis baik di dunia maupun di Indonesia, kalau dilihat dari kacamata akhlak sebenarnya bersumber dari krisis akhlak. Perkataan “akhlaq” berasal dari bahasa Arab Jama’ dari “khuluqun” yang menurut bahasa (lughat) diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Perumusan pengertian “akhlaq” timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara pencipta (khaliq) dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk. Jadi berbagai krisis, baik yang dihadapi di dunia maupun di Indonesia apabila dianalisa dari kacamata akhlak yakni di sebabkan tidak adanya hubungan yang baik antara Khaliq dan makhluknya maupun antara makhluk dan makhluknya.

Kita berkewajiban membina akhlak yang baik (akhlaqul mahmudah) dan mencegah atau memperbaiki akhlak yang buruk (akhlaqul mazmumah). Yang dimaksud dengan “akhlaqul mahmudah” ialah segala tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang biasa juga dinamakan “fadillah” (kelebihan). Imam al-Ghazali menggunakan juga perkataan “munjiyat” yang berarti segala sesuatu yang memberikan kemenangan atau kejayaan. Sebagai kebalikan dari akhlaqul mahmudah ialah “akhlaqul mazmumah” yang berarti tingkah laku yang tercela atau akhlaq yang jahat (qabihah) yang menurut istilah imam al-Ghazali menyebutnya “muhlikat” artinya segala sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan.

Aklak mahmudah dilahirkan oleh sifat-sifat mahmudah dan akhlak yang mazmumah dilahirkan oleh sifat-sifat mazmumah pula. Oleh karena itu, maka dalam pembahasan akhlaq mahmudah (fadilah) dan akhlaq mazmumah (qobihah) dititik beratkan pada sifat-sifat yang terpendam di dalam jiwa manusia (covert behavior) yang menghasilkan perbuatan lahiriyah (overt behavior). Tingkah laku lahir dilahirkan oleh tingkah laku batin,  berupa sifat-sifat dan kelakuan batin yang dapat berbolak-balik (baik-buruk) yang mengakibatkan berbolak baliknya perbuatan jasmani/lahiriah manusia. Oleh karena itu tingkah laku batin (hati) itu pun dapat berbolak balik, maka tepatlah kalau kita berdoa: “Wahai Allah yang memalingkan segala hati, palingkanlah qalbu kami kepada mematuhi Engkau”.

Dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq mahmudah, jika diumpamakan sifat-sifat mahmudah itu laksana vitamin dan mineral untuk membangun jasmani yang sehat, maka sifat-sifat mazmumah/qobihah itu dapat diumpamakan sebagai virus dan bakteri penyakit yang merusak tubuh. Jika kita berkewajiban membangun fisik kita dengan vitamin serta zat-zat lain yang diperlukan sebagaimana halnya harus berusaha mengusir penyakit dan kuman-kuman perusak, maka demikian juga kewajiban kita membina pribadi melalui akhlak atau sifat-sifat mahmudah dan jiwa harus dikosongkan dari segala sifat-sifat qabihah (buruk).

Manakah yang harus didahulukan, mengosongkan pribadikah lebih dahulu dari segala sifat qabihah (buruk) kemudian mengisi kekosongan itu dengan sifat-sifat mahmudah atau sebaliknya? Diantara kaum sufi ada yang memiliki teori “takhliyah” yang berarti mengosongkan atau membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat yang terpuji. Setelah jiwa hampa dari sifat-sifat yang jelek barulah diisi dengan sifat-sifat yang baik (mahmudah). Teori ini seolah-olah memberikan gambaran sebuah gelas yang akan diisi dengan air yang bening, harus dibersihkan lebih dahulu dari segala kotoran dan noda yang terdapat didalamnya.

Hal ini mungkin dapat dicapai oleh segolongan kecil manusia seperti kaum sufi yang sudah terlatih dalam mengosongkan diri (bertakhliyah) dari sifat-sifat jelek, namun kenyataannya tidaklah semudah yang digariskan itu. Sifat-sifat jelek dapat dihilangkan seketika bebarengan dengan pembinaan sifat-sifat yang baik dengan tidak menunggu berapa lama dan dapat digambarkan seperti memasukan vitamin dan obat anti biotik sekaligus ke dalam tubuh yang mempunyai pengaruh efektif memusnahkan bakteri-bakteri penyakit yang merusak jaringan-jaringan tubuh. Bakteri-bakteri tidak akan musnah tanpa dimatikan oleh sesuatu kekuatan yang menjadi lawannya yakni vitamin dan antibiotik. Maka untuk membangun pribadi yang sehat tidak perlu menunggu kosongnya qolbu dari sifat-sifat jelek, melainkan perlu segera ditempuh jalan menginjeksikan sifat-sifat yang baik yang berfungsi laksana vitamin dan antibiotik yang mengusir dan mematikan bibit penyakit.

Jika hati dikotori oleh gangguan syaitan, maka segera dilawan dalam dzikir dan ta’awudz. Kita diperintahkan mendirikan shalat, karena kebaikan menghapuskan kejahatan, sebagimana ditandaskan dalam al-Qur’an: “Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan dari sebagian malam hari karena sesungguhnya kebaikan menghapus kejahatan” (QS: Hud: 114)

Untuk menghilangkan sifat-sifat qobihah itu harus ada kekuatan penolak yang dapat menghilangkannya yakni fadilah atau sifat-sifat mahmudah. Jiwa itu tidak dapat dikosongkan begitu saja tanpa membina kekuatan yang menjadi lawannya. Dan salah satu dari sifat mahmudah adalah amanah, adapaun yang dimaksud dengan amanah disini ialah suatu sifat dan sikap pribadi yang setia, tulus hati dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, berupa harta benda, rahasia, maupun tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat yang baik disebut al-amin yang berarti: yang dapat dipercaya, yang jujur, yang setia, yang aman.

Jabatan kepengurusan khalifah pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka takut memikul tanggung jawab itu, karena menurut keadaan fitrahnya tidak akan sanggup menjalankan amanah itu. Adapun manusia yang memikulnya, karena mereka memiliki kekuatan jasmani dan rohani, sehingga mereka merasakan adanya kesanggupan guna mengemban kepengurusan amanah bumi. Namun, sedikit sekali diantara manusia memenuhi tanggung jawab itu dengan sempurna, sehingga tidaklah mereka laksanakan amanah itu dengan baik. Karena itu keberanian manusia menerima amanah yang ternyata kemudian tidak dapat dilaksanakannya adalah suatu kedzaliman dan kebodohan atas diri sendiri. Itulah salah satu contoh dari akhlak mulia yang harus dibina, yaitu sifat amanah. Apabila sifat ini hilang dari masyarakat maka tunggulah datangnya kehancuran.

Oleh, Prof. Dr. H. A. Juntika N, M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published.