Hukum Islam Dan Pembagiannya (Bag. 1)

  1. KEDUDUKAN HUKUM ISLAM

QS.4: 105, “Innaa anzalnaa ilaikal kitaaba bilhaqqi litahkuma bainannaasi bimaa arookallooh”, artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.

Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma_norma hukum yang diambil dari ajaran-ajaran Islam, karena semua manusia selain hidup di dunia juga akan menjalani kehidupan akhirat yang kebahagiaan atau kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari perbuatan-perbuatan baik atau pun buruk di dunia ini.

Secara psikologis setiap manusia mengakui akan adanya kekuatan supra natural sehingga melahirkan berbagai kegiatan ritus untuk melakukan kontak dengan kekuatan tersebut. Islam, lewat doktrin –doktrin akidahnya mengajarkan tentang keimanan yang benar, dan lewat doktrin syariahnya mengajarkan bagaimana berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Ghaib itu. Disamping itu, karena setiap manusia juga berada di tengah-tengah masyarakatnya, dan senantiasa terikat dengan hubungan interdependensi, maka syariah juga mengeluarkan norma-norma hukum untuk menata hubungan sosial mereka. Dua hal inilah yang menjadi latar belakang pensyariatan hukum-hukum Islam bagi manusia, dengan disertai janji pahala bagi yang mentaatinya dan ancaman dosa bagi yang melanggarnya. Oleh sebab itu , norma-norma hukum ini bisa tegak kalau masyarakatnya memilki kesadaran teologis yang cukup baik, atau dipaksakan oleh penguasa.

2. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM ISLAM

Pengertian Hukum

Secara bahasa, hukum bermakna” menetapkan sesuatu pada yang lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu. Sedang menurut istilah para ulama ushul fiqih, a.l Abu Zahrah (1958 : 26) , hukum adalah khitab syar’I yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan atau wadh’i.

Yang dimaksud dengan khitab syar’I adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dan RasulNya terhadap berbagai perbuatan mukallaf. Seperti: “Yaa ayyuhalladziina aamanuu aufuu bil ‘uquud”. Ayat ini menyatakan tentang ketentuan hukum bahwa memenuhi janji adalah wajib. Khitab dalam ayat ini berbentuk ketentuan yang harus dijalankan. Ada pula khitab dalam bentuk larangan, seperti yang dikemukakan dalam QS.47:11, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok manusia memperolok-olok kelompok yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokan itu lebih baik dari yang memperolok-oloknya”… Adapun khitab dalam bentuk pilihan adalah ketentuan syar’I yang memberi peluang pada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Seperti yang diangkat dalam QS.2:229,”Fain khiftum an laa yuqiimaa huduudalloohi falaa junaaha ‘alaihima fii maf tadat bihi”, artinya: “ jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya”.

Ayat ini memberikan kebolehan bagi istri melalui walinya untuk mengajukan permohonan cerai dari suaminya dengan membayar iwadh (uang pengganti), kalau ternyata rumah tangganya itu tidak harmonis dan sukar diperbaiki karena kesalahan atau kelalaian suaminya itu amat parah. Dalam hal ini, istri boleh mengajukan perceraian itu (khulu’), dan boleh juga tidak mengajukannya.

Adapun yang dimaksud dengan khitab wadh’I adalah ketentuan syar’I tentang perbuatan mukallaf yang mempengaruhi perbuatan taklif. Seperti: pembunuhan yang dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya sendiri, dapat menghilangkan hak warisnya atas harta yang ditinggalkan orang tuanya itu, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi SAW. Yang berbunyi: “Laisa lilqootili minal miirootsi syaiun” (HR.An Nasa-i), artinya: “seorang yang melakukan pembunuhan tidak berhak untuk memperoleh harta warisan dari yang dibunuhnya sedikit pun”.


Oleh, Dr. Edi Suresman, M.Ag

Leave a Reply

Your email address will not be published.