Teori Insan Kamil

Teori Insân Kâmil

Semua Sufi dan Filosof muslim mendasarkan konsepnya tentang insân kâmil pada Al-Quran dan hadits Nabi SAW. Kosa-kata yang bermakna ‘manusia yang tertentu’ dalam Al-Quran cukup banyak, dan term yang paling banyak diungkap dalam Al-Quran adalah: basyar, al-insân, an-nâs; mu`min dan muttaqîn; musyrik, kâfir, munâfiq, fâsiq; dan term Rasûlullah.

Term-term manusia dalam Al-Quran berhubungan dengan keberagamaan. Secara umum manusia memiliki kecenderungan yang positif dan negatif, yakni beragama secara benar (sesuai dengan Kehendak Allâh) atau sesat (menuruti nafsu dan jejak iblis). Sebagian manusia dipuji oleh Tuhan karena mereka berîman, bertakwa, ikhlas, sabar, tawakkal, pandai bersyukur, dan memiliki nafsu muthmainnah. Tipe manusia inilah yang potensial dapat mencapai martabat insân kâmil.

Kehendak Allâh sebenarnya manusia itu supaya memiliki kecenderungan positif. Tetapi sungguh sangat mengagetkan, dan ini justru mengingatkan para pembaca Al-Quran supaya lebih berhati-hati, ternyata term-term manusia dalam Al-Quran lebih cenderung negatif (kebanyakan: kâfir, musyrik, munafiq, fâsiq, sesat, zalim, bodoh, penantang yang paling keras, tukang membantah, tidak pandai bersyukur, tergesa-gesa, tidak tahu agama yang benar, merasa berîman – padahal îmannya tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan). Sebabnya, karena manusia cenderung menuruti nafsu dan jejak iblis yang enggan sujud (taat, patuh, itba`) kepada khalifahNya Allâh di bumi. Manusia kebanyakan menolak RasûlNya Allâh, menghinakannya, bahkan tidak segan-segan membunuhnya, karena – sebagaimana iblis – abâ  was-takbaro (sombong dan takabur) dan anâ khoirun minhu (aku lebih baik daripada RasûlNya Allâh). Mereka memandang Rasûl itu dari sudut penampilannya (rasnya, status sosial-ekonominya, pendidikannya, dan penampilan lahiriah lainnya). Akibatnya, manusia divonis ‘sesat’ oleh Allah karena mereka beragama dengan mengikuti keberagamaan mayoritas, agama leluhur, puas dengan hasil pemikirannya sendiri, atau mengikuti tokoh idola; ujung-ujungnya mempertuhankan nafsu dan mengikuti jalan iblis, mengabai-kan RasûlNya yang selalu ada di tengah-tengah umat, gengsi bertanya kepada ahladz dzikri, dan enggan meneladani Rasûl-Nya.

Syekh Fadlullah (Gujarat) dalam Martabat Tujuh menguraikan proses tanazul (turun) Tuhan agar terjangkau oleh manusia. Menurut Armstrong (1995: 280), ajaran Martabat Tujuh merupakan konsepsi yang berhubungan dengan tajallî Allâh (penyingkapan Diri Tuhan kepada makhluk-Nya) dalam proses penciptaan alam semesta dan manusia. Ternyata proses tanazul Tuhan serendah-rendahnya pada martabat insân kâmil. Kitâb ini merupakan ajaran utama untuk memahami tauhid wihdatusy syuhûd (=”menyaksikan” Tuhan), yakni melalui pancaran cahaya dari insân kâmil (KhalifahNya atau RasûlNya). Artinya, jika ingin mencapai martabat insân kâmil, maka manusia haruslah memperoleh pancaran RasûlNya, karena dia sebagai insân kâmil mukammil (insân kâmil yang dapat membimbing manusia untuk mencapai martabat insân kâmil). Ajaran Martabat Tujuh ini pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Syekh Abdurra`uf Sinkili (Aceh) dan dibawa ke Jawa oleh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (Tasikmalaya), yang kemudian tersebar luas di kalangan Ulama Nusantara abad XVII-XVIII Masehi (Yahya, 2007: 69). Simuh (1996: 308) mengemukakan bahwa paham Martabat Tujuh yang dibawa Syekh Abdul Muhyi pada abad XVII Masehi diserap oleh beberapa buku sufistik Islam Jawa, seperti: Sekar Macapat, Serat Centini, dan Wirid Hidayat Jati.

Jalan untuk mencapai martabat insân kâmil haruslah mengikuti jalan Sufi. Syarat pertamanya harus berîman dan berniat berproses menuju martabat insân kâmil. Tetapi jalannya harus mengikuti Sufi, yakni shirôthol mustaqîm; bukan jalan-jalan yang lain. Adapun Jihâd Akbar (jihad menundukkan nafsu dan syahwat) merupakan jalan utama yang ditempuh para Sufi. Imam Ghazali (1333 H: 4) menguraikan tujuh tangga nafsu, yaitu: amarah, lawwamah, mulhimah, muthmainnah, rodliyah, mardliyah, dan kâmilah. Tampaknya, upaya menundukkan nafsu itu haruslah dengan menaiki ketujuh tangga nafsu itu hingga mencapai nafsu kâmilah. Tetapi, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Araby, haruslah mendapat pancaran cahaya dari RasûlNya. Jika tidak dengan cara begitu (selain insân kâmil) hanyalah sebagai manusia binatang atau monster setengah manusia. Manusia ini bisa mencapai kesempurnaan dirinya sebagai manusia, jika ia menanggalkan kebinatangannya, kemudian mengembangkan dirinya untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia. (Ibn Araby, dalam Takeshita, 2005: 131-133).

Oleh, Dr. Munawar Rahmat, M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published.