Apa yang membedakan gerak Islam dulu dengan sekarang? Kenapa kaum muslimin kini seperti tenggelam di bawah lumpur hingga tak terlihat meski gerakannya sedikit sekali? Sejarah telah menjadi saksi, betapa hebat getaran yang ditimbulkan kedatangan Islam di awal-awal perjuangan. Sama sekali bukan karena pribadi-pribadi yang menampilkan manusia-manusia yang serba super, bahkan sebaliknya. Bukan hanya kondisi pada saat itu yang sudah menuntut perubahan terbukti dengan sikap kontra yang ditonjolkan oleh mayoritas warga Makkah dan sekitarnya. Makkah berbeda dengan Amerika sekarang yang mayoritas warganya sudah muak dan bosan dengan ajaran demokrasi. Makkah pada saat itu tidak dipimpin oleh manusia Barack Obama yang sangat begitu getol menghina Islam dan di amini oleh para sekutunya. Dan perlu diingat para pemimpin dan seluruh warga Makkah sangat getol mempertahankan status quonya.
Satu hal yang perlu dipertanyakan, mengapa pengaruh Islam tidak bisa dibendungnya? Kenapa suara Islam tak mampu mereka redam, bahkan setiap orang membicarakannya. Bila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka bukan harga barang itu yang terlebih dahulu diomongkan, tetapi Islam. Suami istri tak akan tidur di malam yang larut, kecuali terlebih dahulu membicarakan Islam. Tak ada satu rapatpun yang luput membicarakan Islam. Tak ada satu keputusan yang lahir, kecuali memperhitungkan Islam. Kenapa demikian ? Dan kenapa sekarang tidak ? Apa yang membedakannya?
Menjawab pertanyaan ini, Sayid Qutub membeberkan empat prinsip yang membedakaan penerimaan Islam para sahabat Nabi dahulu dengan kaum muslimin sekarang, yaitu : (1) Mereka belajar Islam bukan sekedar dijadikan ilmu, tapi dijadikan pedoman amal perbuatan. Anggota kelompok pengajian yang dipimpin langsung oleh Nabi di rumah Arqom ibn Arqom bukan para cendikiawan. Tak satupun diantara mereka yang menguasai filsafat Plato/Aristoteles. Bahkan Nabi sendiri adalah seorang yang ummy. Materi pengajianpun sangat terbatas, sebab yang ada ketika itu baru lima ayat surat al-‘Alaq, dan baru beberapa tahun kemudian turun beberapa ayat yang lain. Rumah Arqom ibn Arqom sendiri tidak berfasilitas seperti gedung pencakar langit dan perguruan tinggi, bahkan pengajian itupun diadakan secara sembunyi-sembunyi. Jangankan mendapatkan akreditasi disamakan/A, diakui/B, terdaftarpun tidak. Akan tetapi jebolan Arqom tidak kalah dengan jebolan PT manapun, bahkan tak tertandingi hingga kini. Islam ketika itu bukan Islamologi, dan para sahabat bukan Islamolog. Islam adalah ajaran keyakinan dan para sahabat adalah para pejuang. Sehingga setelah Islam dipelajari, diamalkan, dan diperjuangkan. Sikap mereka sami’na wa atho’na Bukan sami’na wa ashoyna. Otak mereka lansung mencair setelah wahyu datang, Nurani menuntut segera dilaksanakan, dan gelora imannya bergolak untuk memperjuangkan. Itu yang membedakan dengan kaum muslimin sekarang, yang harus belajar tafsir puluhan tahun, belajar hadits, ilmu kalam, fikih, dan lain-lain bertahun-tahun, tetapi berhenti setelah disitu, titik. Sikap aku tahu, aku pintar, tapi aku enggan melaksanakan, menjadi trend utama dalam kehidupan. Apabila demikian adanya, jangan heran kaum masjid kosong dari cendikiawan. Mereka datang ke mesjid jika diundang seminar, bukan untuk melaksanakan shalat berjamaah. Apalagi dengan trend sekarang, mempelajari Islam bukan di Indonesia, di Makkah, atau di Mesir, tapi di Amerika, Perancis, atau di Inggris. Kenapa kita harus belajar pada mereka? Kenapa kita minta fatwa kepada Abu Jahal, dan Abu Dujana ? Itulah sebabnya pantas dimaklumi kalau akhirnya timbul berbagai keresahan umat disebabkan issu-issu yang mereka lontarkan. Seperti akhir-akhir ini terjadi di muka bumi Indonesia NKRI yang kita cintai (Ahmadiyah, NII/KW9, dan lain-lain). Harusnya yang kita yakini adalah membenarkan, kemudian melaksanakan, menda’wahkan, dan memperjuangkan. Insya Allah.
(2) Mereka menjadikan Islam sebagai satu-satunya referensi kehidupan. Ketika Umar Ibn Khattab dalam suatu majelis membuka-buka Taurot, merah padam muka Nabi, sambil bersabda “ya Umar, masih adakah yang kau ragukan dari isi kitab Al-Qur’an? Andaikan Musa lahir kembali, tentu ia akan membenarkan Al-Qur’an”. Dengan sikap itu, Nabi hendak menyuruh Umar menutup Taurot dan kitab-kitab lain tentunya. Sikap ini bukan hanya untuk Umar saja, tetapi untuk seluruh kaum muslimin di semua jaman. Nabi mengingatkan kita bahwa Islam itu sudah sempurna. Umat Islam tidak perlu belajar dari ajaran Tao, tak perlu ngindi ilmu pada ajaran Hindu, cukup mempelajari Al-Qur’an. Ingat umur kita sangat terbatas, jangan-jangan karena sibuk mempelajari berbagai aliran filsafat dan agama-agama yang ada tak sempat mempelajari Al Qur’an. Andaikan Allah memberi kita umur 1000 tahun lagi, Al Qur’an tidak akan habis kita bahas dan bicarakan. Muslim tak perlu mencangkok sistem lain. Islam adalah sistem yang utuh, bulat. Jangan ditambah dan dikurang. Terimalah apa adanya. Jangan mencari dalih dan alasan macam-macam untuk menghilangkan syari’at poligami, karena dianggap bertentangan dengan tuntutan emansipasi. Jangan otak atik hukum warisan yang memberi 2 bagian kepada laki-laki dan 1 bagian kepada perempuan, hanya gara-gara tuntutan jaman. Jangan mencela hukum potong tangan dan rajam, hanya gara-gara dianggap tidak bisa dilaksanakan. Jangan jiplak ajaran barat dan timur, jangan pula menyusupkan ajaran itu pada Islam. Cukuplah Al Qur’an satu-satunya pedoman dan Nabi Muhammad sebagai satu-satunya figur anutan. Wallu’alam.
(3) Mereka mengamalkan perintah-perintah Islam sebagai prajurit di medan perang menerima instruksi dari komandan. Sikap mereka tidak pernah menunda-nunda pelaksanaan perintah Allah, apalagi membantah mencari-cari alasan. Sikap mereka spontan, apabila ada perintah mereka langsung dilaksanakan. Mereka selalu berebut didepan, ketika ada perintah perang, mereka selalu berebut pada barisan paling depan, ketika turun perintah shalat berjama’ah, mereka saling mendahului menempati shaf terdekat dengan imam. Sikap mereka dalam menerima perintah Allah laksana prajurit di medan pertempuran yang mendapatkan instruksi dari komandan. Bila ada perintah tiarap, maka tiaraplah dia, bila ada perintah maju maka larilah dia, tanpa pikir panjang ia laksanakan perintah komandan, sebab di sanalah, pada ketaatan melaksanakan perintah, itulah letak keselamatan. Seperti tidak ada jarak dan waktu antara turunnya perintah dengan pelaksanaan. Ketika larangan minuman khamar, pelataran Madinah banjir minuman keras, dan menumpahkannya di pelataran, dan tanpa mencoba ulang. Mereka bergerak spontan, yang terpikir hanya melaksanakan perintah, adapun tentang hobi, kesukaan, dan kesenangan sama sekali dikesampingkan. Mereka tidak berpikir untung rugi dalam melaksanakan perintah. Ketika turun ayat-ayat hijab yang memerintahkan manusia menutup aurat, maka ketika itu juga para perempuan menutup rambutnya dengan apa saja yang ada di depannya. Banyak diantara mereka yang menutup kepalanya dengan pelepah kurma, dan kulit pohon-pohon. Mereka merobek baju rangkapnya untuk dililitkan keseluruh tubuhnya. Ketika itu tak berpikir, cantik atau tidak, yang penting melaksanakan tugas. Bukan berarti Nampak cantik itu tidak perlu, tetapi menghadapi perintah atau larangan Allah, kecantikan kadang harus dikorbankan. Para sahabat Nabi dulu apabila membaca Al Qur’an khusu dan tawadhu. Tetapi manakala yang dibaca adalah seruan “yaa ayyuhalladziina aamanu” serempak mereka siap siaga, bak seorang tentara yang dipanggil atasannya. Sikap badan tegak, telinganya terbuka lebar, matanya tak berkedip, jantungnya berdebar,.Mereka bertanya-tanya dalam hati,”apalagi perintah-Mu ya Allah yang kami harus kerjakan?. Bagaimana sikap muslimin sekarang ?
(4) Dan setelah mereka ber-Islam, semua tradisi lama ditinggalkan. Islam adalah ajaran yang Revolusioner . Dalam memperbaiki tatanan sosial, ia tidak tanggung-tanggung mendongkel ajaran nenek moyang sampai ke akar-akarnya dan mengganti dengan ajaran yang betul-betul baru, berbeda sama sekali. Tak ada kompromi dalam ajaran ini. Karena ajaran Islam yang revolusioner inilah, para sahabat Nabi benar-benar berubah 180 derajat setelah aslamtu billah. Kebiasaan lama mereka kubur, masa lalu dikunci mati, mereka memasuki dunia baru dan kini. (Madzhab Gugeliyah). Umar Ibn Khattab yang asalnya kasar, bringas dan brutal, kini menjadi manusia lembut dan penuh kasih sayang. Bilal yang pada mulanya menuhankan majikannya, selalu menundukkan kepala di depan Abu Jahal, kini berubah, setelah menemukan Tuhan dalam Islam. Tak Nampak lagi kalau Umar dahulu bekas majikan. Tak kelihatan lagi kalau Amr ibn Yasir dulu mantan budak. Tak terkesan lagi, kalau dulu Abubakar penyembah berhala, tak terbayang lagi, kalau dulu Khalid ibn Walid musuh bebuyutan Islam. Mereka berubah secara menakjubkan. Seluruh titel jahiliyah mereka tinggalkan dan tanggalkan. Jabatan apapun mereka letakkan. Mereka kini asik dengan Islam, mereka bangga dengan sebutan Muslim. Isyhadu bianna muslimun (saksikan bahwa kami adalah muslim). Mode pakaian berubah, gaya bicara berganti, materi obrolannya tak seperti dahulu lagi, akhlak, tingkah laku sehari-hari terombak, hoby dan keasikan juga berpindah porsi, jadwal hariannya berganti. Kalau dulu dzikirnya hanya uang, nyanyiannya melulu hanya wanita, umtimate goalnya hanya kepuasan nafsu pribadi, maka kini dzikirnya Asmaul Husna, nyanyiannya Al Qur’an, dan tujuan akhirnya adalah ridho Allah.”Maka atas tanggung jawab-ku penjelasan isi Al Qur’an. Sayang manusia terlalu gila dunia dan takut mati.
Oleh : Drs. KH. CECEP SUDIRMAN ANSHARI, M.A., M.Pd